Moda transportasi umum di Jakarta selalu jadi perbincangan hangat di
ruang publik. Persoalan moda transportasi umum yang saban hari selalu kita
jumpai, mulai dari minimnya jumlah moda angkutan operasional, moda transportasi
yang sudah kolot dan tak layak jalan, stasiun dan halte pemberentian yang
kurang layak, perilaku berkendara yang serampangan, hingga kebijakan
penyelesaian yang tak kunjung temu titik terang, menjadi pusaran yang membelit
aktivitas masyarakat. Apa buktinya?
mungkin sebagian dari kita, punya pengalaman tak sedap menyoal transportasi
umum ini. Khususnya di Jakarta, saya punya pengalaman yang tak menyenangkan,
tak memuaskan, saat menggunakan trasnportasi umum. Di sini, saya lebih
khususkan lagi pengalamannya terkait pelayanan bus antarkota dan minibus
sejenis Metromini, Kopaja dan Koantas Bima.
Koantas Bima 102 |
Sebagai pecinta moda
transportasi umum, saya lebih sering bepergian dengan memanfaatkan layanan
transportasi umum. Bus Transjakarta, misalnya. Bagi saya, selain Transjakarta
punya jalur khusus, pelayanannya terbilang cukup baik, namun persoalannya ada
pada perawatan bus yang mungkin kurang maksimal.
Minibus seperti
Kopaja, Metromini, dan Koantas Bima, banyak yang tidak terawat namun dipaksakan
beroperasi di jantung ibukota hingga mengitari pesisir Jakarta dengan tingkat
polusi tinggi, dan perilaku supir yang kadang mengabaikan keselamatan
penumpang. Buktinya sangat banyak, setidaknya berdasarkan kumulasi pengalaman
saya sendiri.
Supir asyik
teleponan sambil ngebut dan sesekali marah-marah sama cewek yang ada di ujung
telepon, yang dibilangnya “sayang”. Logat batak yang kentara, volume bicara
yang keras, makin mendramatisir suasana. Belum lagi ulah kernetnya yang
gelantungan di sisi pintu sambil teriak-teriak “terus, terus, terus, kiri
kosong, majuuu woooi, bablas piiir,yiiihaaaa…dll” (terkesan akrobatik banget,
memang). Mirisnya, kernet itu seorang bocah. Saya taksir, dia masih diusia
10-12 tahun.
Nasib nahas tak
sampai di situ. Di depan mall Pondok Indah, semua penumpang dimigrasikan ke bus
lain yang jelas-jelas beda jurusan meski melintasi sebagian rute Koantas Bima
102 itu. Misalkan, penumpang dipindahkan ke Bus Metromini 72 jurusan terminal
Lebak Bulus-Blok M, lintas rute pondok indah. Alhasil, penumpang yang ke
Ciputat mesti naik angkot lagi, tentu nambah ongkos lagi. Bukan satu dua kali
perilaku migrasi penumpang oleh para supir ini, tapi sepanjang enam tahun di
Jakarta, saya sering mengalaminya. Jadi, ini seperti kebiasaan buruk yang
termapankan.
Kualitas
pelayanannya semakin memburuk saat kondisi dalam bus begitu semrawut dan kotor.
Ada bagian dalam atas bus yang sudah copot, tapi direkatkan lagi dengan solasi.
Punggung kursinya pun bolong, sebagian kursi sengaja dicopot supaya bisa
menambah quota berdiri penumpang (otomatis, banyak pemasukan), kaca retak juga
direkatkan dengan solasi, pintu bus yang sudah dol alias tak bisa dikunci lagi,
kaca pintu pecah bahkan ada yang tanpa kaca pintu, kemudi bus yang sudah
kelihatan tua, besi badan bus yang sudah karatan, dan kualitas mesin yang
bisingnya “minta ampuuun”.
Perilaku berkendara juga jadi perhatian khusus. Tak hanya Koantas Bima
102 & 510, tapi Kopaja P20, Metromini 72 & 610, juga Bus 76 yang
kesemuanya bermarkas di terminal Lebak Bulus dan Ciputat, kadang mengabaikan
pelayanan dan keselamatan penumpang. Perilaku supir saat mengemudi jauh lebih
buruk dari yang diharapkan. Ada yang nyupir sambil teleponan, ada yang sibuk
godain penumpang (khususnya cewek-cewek cantik), eh tau-taunya nabrak dan bikin
macet. Ada yang sambil merokok tanpa rasa bersalah karena sudah meracuni
penumpang, ada yang ngebut gak ketulungan parahnya sampai menyisir trotoar,
juga tidak menjaga jarak aman antarkendaraan di jalanan.
Terakhir, hal yang disorot dari pihak pengelola yaitu ketepatan waktu
dan keamanan. Okelah, soal ketepatan waktu gak usah dibahas karena macet hampir
di seluruh Jakarta. Tapi keamanan adalah faktor penting yang mesti bicicarakn
solusinya. Saat di bus atau minibus, kadang pengamen masuk dengan kondisi
memprihatinkan. Saya tidak menolak pengamen, tapi kalu mengamen sukarela tanpa
memaksa untuk diberi, itu yang saya maklumi. Lain orang lain cara, saat
generasi gepeng (gelandang, pengemis, pengamen) masuk bus, ada yang ala preman
menyayat tubuh dengan silet supaya penumpang takut dan akhirnya memberi uang.
Saya tidak menolelir mereka, sekalipun dipaksa.
Terlepas dari semua
itu, kita tidak bisa serampangan menyalahkan pihak pengelola. Terkadang,
perilaku penumpang juga yang memungkinkan pengelola merasa betah dengan
buruknya sistem yang sudah termapankan di jalan. Misalkan, banyak penumpang
hanya menurut pindah bus saat dimigrasikan. Padahal, kalaupun dilawan dan tidak
ada yang mau turun pindah bus, mau tak mau bus akan lanjut lagi. Pada akhirnya,
sebagai penumpang kita juga mesti kritis terhadap keadaan transportasi umum
yang tersedia.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »