BusNesia kali ini akan berbagi sebuah foto bus jadul Chevrolet di jalur Puncak tahun 1950-an. Bus Chevrolet ini kemungkinan besar hasil modifikasi dari truck Chevrolet Suburban.
Wujud bus Chevrolet tersebut kira-kira seperti ini.
Mumpung membahas bus Chevrolet di jalur Puncak, BusNesia mengajak pembaca sekalian sedikit mengenang kembali jalur Puncak pada masa lalu. Sejarawan Djoko Marihandono menjelaskan, jalur Megamendung yang menghubungkan Cisarua dan Cipanas atau yang kini dikenal sebagai Jalan Raya Puncak dibangun dengan penuh tantangan.
Megamendung yang dimaksud bukanlah wilayah di sekitar pertigaan Megamendung di Desa Cipayung yang terletak sekitar lima kilometer dari gerbang Tol Gadog menuju Puncak. Berdasar peta Belanda tahun 1904 milik Kartini Collection, terlihat jelas Gunung Megamendung dengan ketinggian 1880 meter dari permukaan laut, terletak di antara Tjisaroea dan Tjimatjan atau Cisarua-Cimacan.
Jalur Megamendoeng tersebut terletak antara Seuseupan-Gadok-Pasirangin-Tjikopo-Tjisaroea-Tjimatjan-Sindanglaja-Tjipanas-Patjet-Tjiherang-Babakan-Tjiandjoer. Gunung Megamendoeng diperkirakan sebagai titik tertinggi di Jalur Puncak yang menurut sejarawan dari Arsip Nasional, Mona Lohanda, dikenal sebagai Puncak Pass.
Marie-Louise Ten Horn-Van Nispen dalam tulisan ilmiah yang dikirim Atase Kebudayaan Belanda JAM Paul Pieters menerangkan betapa pembangunan Jalan Raya Pos dengan mudah dikerjakan dengan memperlebar jalan desa yang sudah ada. Namun, masalah muncul saat pembangunan Jalan Raya Pos dilakukan di daerah pegunungan dan rawa yang mengakibatkan banyak pekerja jatuh sakit serta tewas.
Jalur Jalan Raya Pos di Distrik Priangan misalnya, harus melintasi celah Gunung Megamendung dan Gunung Masigit (antara Cianjur dan Bandung) dan di Cirebon harus melintasi rawa, demikian Van Nispen mencatat.
Djoko Marihandono menambahkan, untuk membangun jalur Cisarua-Cianjur via Megamendung, semula dibutuhkan 400 pekerja Jawa dengan upah 10 ringgit perak per orang. Jumlah tersebut merupakan bagian terbesar dari 1.100 orang tenaga kerja yang dikerahkan untuk membangun jalan dari Buitenzorg ke Karangsambung (Cirebon).
Karena medan berat, ditambah lagi pekerja dari wilayah Priangan-Cirebon sebanyak 500 orang. Kolonel (Zeni) Von Lutzow memimpin proyek didampingi dua insinyur yang merencanakan di mana jalan dibuka, digali atau diratakan. Jalur Cisarua-Cianjur ditangani seorang insinyur.
Catatan perjalanan Walter Kinloch tahun 1853 dalam Rambles in Java and The Straits menjelaskan, saat melintasi Jalan Raya Pos melintasi Puncak Megamendung. Kami mencapai pos pertama sekitar 6 mil dari Bogor dalam 27 menit dan mengganti kuda. Selanjutnya ditempuh perjalan empat jam dengan kereta kuda untuk mencapai puncak Megamendung yang tingginya 4.300 kaki dari permukaan laut. Setiba di Cisarua, jalan menjadi sangat terjal sehingga beberapa ekor kerbau membantu kuda menarik kereta, kata Kinloch.
Dia menambahkan, setiba di puncak, mereka jalan terus menurun dan saat ketinggian berkurang sekitar 1.000 kaki, tibalah kereta di Cipanas. Pembangunan jalan tersebut mempersingkat waktu tempuh. Batavia-Buitenzorg dapat ditempuh dalam lima jam hingga enam jam. Perjalanan Buitenzorg-Megamendung sekitar empat setengah jam.
Keberadaan jalan di jalur Megamendung sungguh memperpendek waktu perjalanan Batavia-Tjipanas. Pada abad 18, Marie-Louise Ten Horn-Van Nispen menjelaskan, perjalanan Batavia-Tjipanas memakan waktu delapan hari!
Prakarsa Daendels untuk membangun jalan melintasi Gunung Megamendung adalah salah satu rekayasa teknik terbaik yang dilakukan di abad 19 dan menjadi modal bagi perekonomian Indonesia pasca-kemerdekaan.
Wujud bus Chevrolet tersebut kira-kira seperti ini.
Mumpung membahas bus Chevrolet di jalur Puncak, BusNesia mengajak pembaca sekalian sedikit mengenang kembali jalur Puncak pada masa lalu. Sejarawan Djoko Marihandono menjelaskan, jalur Megamendung yang menghubungkan Cisarua dan Cipanas atau yang kini dikenal sebagai Jalan Raya Puncak dibangun dengan penuh tantangan.
Megamendung yang dimaksud bukanlah wilayah di sekitar pertigaan Megamendung di Desa Cipayung yang terletak sekitar lima kilometer dari gerbang Tol Gadog menuju Puncak. Berdasar peta Belanda tahun 1904 milik Kartini Collection, terlihat jelas Gunung Megamendung dengan ketinggian 1880 meter dari permukaan laut, terletak di antara Tjisaroea dan Tjimatjan atau Cisarua-Cimacan.
Jalur Megamendoeng tersebut terletak antara Seuseupan-Gadok-Pasirangin-Tjikopo-Tjisaroea-Tjimatjan-Sindanglaja-Tjipanas-Patjet-Tjiherang-Babakan-Tjiandjoer. Gunung Megamendoeng diperkirakan sebagai titik tertinggi di Jalur Puncak yang menurut sejarawan dari Arsip Nasional, Mona Lohanda, dikenal sebagai Puncak Pass.
Marie-Louise Ten Horn-Van Nispen dalam tulisan ilmiah yang dikirim Atase Kebudayaan Belanda JAM Paul Pieters menerangkan betapa pembangunan Jalan Raya Pos dengan mudah dikerjakan dengan memperlebar jalan desa yang sudah ada. Namun, masalah muncul saat pembangunan Jalan Raya Pos dilakukan di daerah pegunungan dan rawa yang mengakibatkan banyak pekerja jatuh sakit serta tewas.
Jalur Jalan Raya Pos di Distrik Priangan misalnya, harus melintasi celah Gunung Megamendung dan Gunung Masigit (antara Cianjur dan Bandung) dan di Cirebon harus melintasi rawa, demikian Van Nispen mencatat.
Djoko Marihandono menambahkan, untuk membangun jalur Cisarua-Cianjur via Megamendung, semula dibutuhkan 400 pekerja Jawa dengan upah 10 ringgit perak per orang. Jumlah tersebut merupakan bagian terbesar dari 1.100 orang tenaga kerja yang dikerahkan untuk membangun jalan dari Buitenzorg ke Karangsambung (Cirebon).
Karena medan berat, ditambah lagi pekerja dari wilayah Priangan-Cirebon sebanyak 500 orang. Kolonel (Zeni) Von Lutzow memimpin proyek didampingi dua insinyur yang merencanakan di mana jalan dibuka, digali atau diratakan. Jalur Cisarua-Cianjur ditangani seorang insinyur.
Catatan perjalanan Walter Kinloch tahun 1853 dalam Rambles in Java and The Straits menjelaskan, saat melintasi Jalan Raya Pos melintasi Puncak Megamendung. Kami mencapai pos pertama sekitar 6 mil dari Bogor dalam 27 menit dan mengganti kuda. Selanjutnya ditempuh perjalan empat jam dengan kereta kuda untuk mencapai puncak Megamendung yang tingginya 4.300 kaki dari permukaan laut. Setiba di Cisarua, jalan menjadi sangat terjal sehingga beberapa ekor kerbau membantu kuda menarik kereta, kata Kinloch.
Dia menambahkan, setiba di puncak, mereka jalan terus menurun dan saat ketinggian berkurang sekitar 1.000 kaki, tibalah kereta di Cipanas. Pembangunan jalan tersebut mempersingkat waktu tempuh. Batavia-Buitenzorg dapat ditempuh dalam lima jam hingga enam jam. Perjalanan Buitenzorg-Megamendung sekitar empat setengah jam.
Keberadaan jalan di jalur Megamendung sungguh memperpendek waktu perjalanan Batavia-Tjipanas. Pada abad 18, Marie-Louise Ten Horn-Van Nispen menjelaskan, perjalanan Batavia-Tjipanas memakan waktu delapan hari!
Prakarsa Daendels untuk membangun jalan melintasi Gunung Megamendung adalah salah satu rekayasa teknik terbaik yang dilakukan di abad 19 dan menjadi modal bagi perekonomian Indonesia pasca-kemerdekaan.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »