BusNesia - Artikel kali ini BusNesia akan membahas tentang raja jalanan atau angkutan publik terbesar di darat yang kini mulai terpinggirkan. Dari sekian perusahaan otobus (PO) tertua di Jateng yang masih berkiprah hingga saat ini, antara lain PO Rajawali di Solo dan PO Coyo di Tegal. Namun kali ini BusNesia hanya akan membahas PO Rajawali. Cerita panjang berliku menghiasi sepak terjang PO Rajawali yang memiliki garasi dan kantor di: Jl. Kapt. Adi Sumarmo No. 261 Solo, Telepon: 0271-719704.
Krisjanto Anggarjito, generasi ketiga perusahaan itu mengatakan persaingan terberat dialami setelah reformasi hingga sekarang. Berbeda dari saat PO Rajawali merintis kiprahnya pada 1954 hingga mengecap kejayaan pada era 1990-an. Saat dirintis kakeknya, diawali dari dua unit bus pariwisata bernama ATG. Dua tahun kemudian mendapat trayek reguler Solo- Ampel dan Solo-Madiun. Pada 1959, PO Rajawali mendapatkan trayek Solo-Jogja, Solo-Jogja-Magelang, dan Solo-Semarang.
Jadi raja selama 20 tahun hingga 1979, persaingan bus bumel menggila. Krisjanto masih ingat waktu selisih antar bus hanya dua menit. Sesama bus saling kejar untuk memperoleh penumpang. Biaya operasional dan biaya perawatan menggila.
Contohnya, kampas rem hanya tahan dua minggu dan setoran tak mencapai target. Ditambah lagi tren orang mulai lebih suka naik bus Patas AC, sehingga bus bumel ditarik secara bertahap. PO Rajawali mulai mengubah manajemennya dengan berkonsentrasi ke bus Patas AC Solo-Semarang pada 1992.
Dengan bus yang bersih dan terawat membuat PO Rajawali beda dari bus patas yang lain. Selain memiliki bus bumel, sejak 1981 PO Rajawali merajai bus malam. Saat itu trayeknya Bandung-Semarang-Solo, kemudian Solo-Jogja-Semarang-Solo. Tahun 1990-1994 menjadi masa jaya bus malam Rajawali. Busnya berjumlah 70 unit melayani berbagai trayek. Masa suram bisnis angkutan umum massal dimulai saat krisis moneter melanda Indonesia. Sejak krisis hingga 17 tahun kemudian, kenaikan tarif bus tak sampai 300 persen. Di sisi lain, harga suku cadang sudah naik 500 persen.
Gempuran datang dari kereta api kian nyaman dan pesawat udara yang bertambah banyak dan murah. “Kereta api ekonomi Solo-Jakarta ber-AC, harga tiketnya murah, dan tiba tepat waktu 10- 13 jam. Waktu kedatangan bus malam tidak menentu. Ada bencana alam dan gangguan di jalan. Belum biaya operasional yang tinggi sehingga bisnis transportasi massal dewasa ini makin berat,” keluh dia.
Menurut pengamatan BusNesia, Banyak sekali faktor penyebab perusahaan surut. Selain jalan, BBM, dan premanisme, juga bunga kredit bank yang tinggi dan menjamurnya angkutan umum pelat hitam, contohnya jasa rental mobil. Makanya perusahaan angkutan umum baru juga mesti pandai bersiasat, membaca situasi dan menyesuaikan diri.
Krisjanto Anggarjito, generasi ketiga perusahaan itu mengatakan persaingan terberat dialami setelah reformasi hingga sekarang. Berbeda dari saat PO Rajawali merintis kiprahnya pada 1954 hingga mengecap kejayaan pada era 1990-an. Saat dirintis kakeknya, diawali dari dua unit bus pariwisata bernama ATG. Dua tahun kemudian mendapat trayek reguler Solo- Ampel dan Solo-Madiun. Pada 1959, PO Rajawali mendapatkan trayek Solo-Jogja, Solo-Jogja-Magelang, dan Solo-Semarang.
Jadi raja selama 20 tahun hingga 1979, persaingan bus bumel menggila. Krisjanto masih ingat waktu selisih antar bus hanya dua menit. Sesama bus saling kejar untuk memperoleh penumpang. Biaya operasional dan biaya perawatan menggila.
Contohnya, kampas rem hanya tahan dua minggu dan setoran tak mencapai target. Ditambah lagi tren orang mulai lebih suka naik bus Patas AC, sehingga bus bumel ditarik secara bertahap. PO Rajawali mulai mengubah manajemennya dengan berkonsentrasi ke bus Patas AC Solo-Semarang pada 1992.
Dengan bus yang bersih dan terawat membuat PO Rajawali beda dari bus patas yang lain. Selain memiliki bus bumel, sejak 1981 PO Rajawali merajai bus malam. Saat itu trayeknya Bandung-Semarang-Solo, kemudian Solo-Jogja-Semarang-Solo. Tahun 1990-1994 menjadi masa jaya bus malam Rajawali. Busnya berjumlah 70 unit melayani berbagai trayek. Masa suram bisnis angkutan umum massal dimulai saat krisis moneter melanda Indonesia. Sejak krisis hingga 17 tahun kemudian, kenaikan tarif bus tak sampai 300 persen. Di sisi lain, harga suku cadang sudah naik 500 persen.
Gempuran datang dari kereta api kian nyaman dan pesawat udara yang bertambah banyak dan murah. “Kereta api ekonomi Solo-Jakarta ber-AC, harga tiketnya murah, dan tiba tepat waktu 10- 13 jam. Waktu kedatangan bus malam tidak menentu. Ada bencana alam dan gangguan di jalan. Belum biaya operasional yang tinggi sehingga bisnis transportasi massal dewasa ini makin berat,” keluh dia.
Menurut pengamatan BusNesia, Banyak sekali faktor penyebab perusahaan surut. Selain jalan, BBM, dan premanisme, juga bunga kredit bank yang tinggi dan menjamurnya angkutan umum pelat hitam, contohnya jasa rental mobil. Makanya perusahaan angkutan umum baru juga mesti pandai bersiasat, membaca situasi dan menyesuaikan diri.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Periode 1997-2000 langgananku seminggu sekali Blitar-Bandung
ReplyDeletePeriode 1997-2000 langgananku seminggu sekali Blitar-Bandung
ReplyDelete