BusNesia kali ini akan membahas masalah pentingnya crew bus wajib dibekali pengetahuan tentang apa yang harus mereka lakukan kalau terjadi kecelakaan. Kite tentu masih ingat dengan tewasnya 54 penumpang bus pariwisata AO Transport yang terdiri atas pelajar kelas dua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) I Yayasan Pembinaan Generasi Muda (Yapemda) Sleman, Yogyakarta, pada 2003 lalu, dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di Situbondo, Jawa Timur. Seharusnya kejadian ini menjadi pelajaran bagi bangsa ini dalam membenahi kisruhnya sektor transportasi, khususnya angkutan umum. Peristiwa tragis seperti ini sering terjadi di jalan raya, tetapi hampir tidak pernah ada solusi konkret yang mengutamakan keselamatan (safety first) agar kecelakaan lalu lintas itu tidak terus terulang.
Ada tiga pihak yang langsung terkait dalam masalah tanggung jawab keselamatan transportasi. Mereka adalah operator (crew), regulator (pemerintah), dan pemilik atau pengusaha. Kalau ditambah satu pihak lagi, adalah masyarakat pengguna jasa transportasi. Namun, biasanya masyarakat sendiri tidak terlalu peduli pada safety first, sebab peristiwa itu "bukan terjadi pada saya, tetapi orang lain". Nah kali ini BusNesia akan membahas dari faktor operator.
Penulis yakin puluhan korban meninggal dalam kecelakaan bus di Situbondo disebabkan bukan karena tabrakannya, tetapi karena mereka panik dan pingsan akibat menghirup asap tebal. Kasus kecelakaan yang menelan korban 54 orang tewas itu terjadi karena beberapa hal yang seharusnya dilakukan oleh berbagai pihak ternyata diabaikan begitu saja.
Kepanikan penumpang bus bisa dimaklumi karena tidak adanya prosedur pengamanan dan penyelamatan yang benar jika terjadi kecelakaan. Tidak ada petunjuk penggunaan jendela atau pintu darurat di dalam bus.
Selain itu, sebelum menaiki bus tersebut, tidak pernah ada pemberitahuan dari crew bus atau pun biro perjalanan mengenai prosedur apa yang harus ditempuh jika terjadi kecelakaan. Ya, wajar saja mereka panik karena mereka tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan jika terjadi kebakaran atau kecelakaan.
Akibatnya bisa diduga. Ketika terjadi tabrakan dan asap tebal masuk ke dalam bus, para penumpang pun panik, berusaha menyelamatkan diri, dan akhirnya malah terbakar secara mengenaskan di atas bus.
Pintu hidrolik yang canggih dan berfungsi untuk memudahkan serta membuat perjalanan lebih aman ternyata juga tidak dapat diandalkan. Ketika terjadi tabrakan, kemungkinan bingkai pintu tersebut agak bengkok. Itu sebabnya pintu tidak bisa terbuka. Seharusnya, selain dibuka secara otomatis, pintu bus juga harus dapat dibuka secara mekanis. Setidaknya ada tuas atau tombol yang memudahkan penumpang membuka pintu bus secara manual.
Sebenarnya yang terpenting ada kaca berukuran besar yang bisa dengan mudah dipecahkan dan ada alat yang berfungsi memecahkan kaca di dalam bus dan mudah dijangkau oleh penumpang.
Itu saja tidak cukup. Penumpang juga diberikan pengetahuan mengenai cara menyelamatkan diri jika terjadi kecelakaan. Tidak hanya itu, cara penyelamatan diri dan apa yang harus dilakukan jika terjadi kecelakaan ditulis dan ditempel di beberapa bagian bus.
Di Indonesia, masih ada yang tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang harus mereka lakukan jika terjadi kecelakaan. Itulah sebabnya, dari banyak kasus kecelakaan lalu lintas crew bus selamat dari kecelakaan namun penumpangnya menjadi korban susulan.
Itu karena crew bus banyak yang tidak dibekali pengetahuan tentang apa yang harus mereka lakukan kalau ada kecelakaan. Padahal, harusnya crew bus adalah orang terakhir yang keluar dari bus. Dia harus memastikan semua penumpangnya selamat. Memang tidak dapat sepenuhnya menyalahkan sopir. Pasalnya, banyak kemungkinan yang menyebabkan sopir tersebut begitu tidak perhatian terhadap penumpangnya.
Salah satunya adalah sopir tidak pernah dibekali pengetahuan tentang standar keselamatan. Dia hanya berperan sebagai sopir, tidak lebih dari itu. Dia hanya mampu mengemudikan kendaraan tanpa membayangkan banyaknya tanggung jawab yang harus dipikul seorang sopir dengan puluhan bahkan ratusan penumpang.
Ada tiga pihak yang langsung terkait dalam masalah tanggung jawab keselamatan transportasi. Mereka adalah operator (crew), regulator (pemerintah), dan pemilik atau pengusaha. Kalau ditambah satu pihak lagi, adalah masyarakat pengguna jasa transportasi. Namun, biasanya masyarakat sendiri tidak terlalu peduli pada safety first, sebab peristiwa itu "bukan terjadi pada saya, tetapi orang lain". Nah kali ini BusNesia akan membahas dari faktor operator.
Penulis yakin puluhan korban meninggal dalam kecelakaan bus di Situbondo disebabkan bukan karena tabrakannya, tetapi karena mereka panik dan pingsan akibat menghirup asap tebal. Kasus kecelakaan yang menelan korban 54 orang tewas itu terjadi karena beberapa hal yang seharusnya dilakukan oleh berbagai pihak ternyata diabaikan begitu saja.
Kepanikan penumpang bus bisa dimaklumi karena tidak adanya prosedur pengamanan dan penyelamatan yang benar jika terjadi kecelakaan. Tidak ada petunjuk penggunaan jendela atau pintu darurat di dalam bus.
Selain itu, sebelum menaiki bus tersebut, tidak pernah ada pemberitahuan dari crew bus atau pun biro perjalanan mengenai prosedur apa yang harus ditempuh jika terjadi kecelakaan. Ya, wajar saja mereka panik karena mereka tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan jika terjadi kebakaran atau kecelakaan.
Akibatnya bisa diduga. Ketika terjadi tabrakan dan asap tebal masuk ke dalam bus, para penumpang pun panik, berusaha menyelamatkan diri, dan akhirnya malah terbakar secara mengenaskan di atas bus.
Pintu hidrolik yang canggih dan berfungsi untuk memudahkan serta membuat perjalanan lebih aman ternyata juga tidak dapat diandalkan. Ketika terjadi tabrakan, kemungkinan bingkai pintu tersebut agak bengkok. Itu sebabnya pintu tidak bisa terbuka. Seharusnya, selain dibuka secara otomatis, pintu bus juga harus dapat dibuka secara mekanis. Setidaknya ada tuas atau tombol yang memudahkan penumpang membuka pintu bus secara manual.
Sebenarnya yang terpenting ada kaca berukuran besar yang bisa dengan mudah dipecahkan dan ada alat yang berfungsi memecahkan kaca di dalam bus dan mudah dijangkau oleh penumpang.
Itu saja tidak cukup. Penumpang juga diberikan pengetahuan mengenai cara menyelamatkan diri jika terjadi kecelakaan. Tidak hanya itu, cara penyelamatan diri dan apa yang harus dilakukan jika terjadi kecelakaan ditulis dan ditempel di beberapa bagian bus.
Di Indonesia, masih ada yang tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang harus mereka lakukan jika terjadi kecelakaan. Itulah sebabnya, dari banyak kasus kecelakaan lalu lintas crew bus selamat dari kecelakaan namun penumpangnya menjadi korban susulan.
Itu karena crew bus banyak yang tidak dibekali pengetahuan tentang apa yang harus mereka lakukan kalau ada kecelakaan. Padahal, harusnya crew bus adalah orang terakhir yang keluar dari bus. Dia harus memastikan semua penumpangnya selamat. Memang tidak dapat sepenuhnya menyalahkan sopir. Pasalnya, banyak kemungkinan yang menyebabkan sopir tersebut begitu tidak perhatian terhadap penumpangnya.
Salah satunya adalah sopir tidak pernah dibekali pengetahuan tentang standar keselamatan. Dia hanya berperan sebagai sopir, tidak lebih dari itu. Dia hanya mampu mengemudikan kendaraan tanpa membayangkan banyaknya tanggung jawab yang harus dipikul seorang sopir dengan puluhan bahkan ratusan penumpang.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »