BusNesia kali ini akan menulis fakta unik seputar Metromini. Metromini memang dikenal lewat berbagai sisi. Baik itu sisi positif maupun sisi
negatifnya. Misal, kebrutalan supir dalam mengemudi, kondisi bus yang
amburadul (kaca penuh stiker, pecah, bahkan copot), mesin tidak terawat,
begitu pula emisi gas buangnya. Asap hitam seperti jadi ciri khas
Metromini. Kalau sekadar instrumen bis tidak berfungsi, seperti
speedometer, itu sudah lazim. Apa saja keunikan Metromini yang patut
kita ketahui, berikut 4 fakta unik dalam catatan penulis.
1. Metromini Jadi Primadona Diawal Kelahirannya
Jika saat ini Metromini identik dengan segala hal negatif, baik kondisi kendaraan maupun perilaku awaknya, tidak demikian di masa kelahirannya. Menyambut Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces alias Ganefo (tandingan Olimpiade) pada tahun 1962, Presiden Indonesia saat itu, Soekarno alias Bung Karno, memerintahkan agar Gubernur DKI Soemarno, membuat kendaraan pendukung guna mengangkut para atlet. Soalnya, kendaraan umum yang ada saat itu cuma oplet. Ada pula bus-bus besar, tapi dianggap tidak representatif.
2. Metromini Peringkat Pertama Penyebab Macet
Tidak heran jika Metromini dianggap merupakan kendaraan umum penyebab kemacetan utama di Jakarta. Sopir dan kenek, kerap kompak untuk menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Ya, dimana saja dan kapan saja. Cukup teriak “kiri!”, Metromini kontan berhenti. Belum lagi ulah supirnya yang sering mengendarai bus dengan ugal-ugalan dan melanggar lalu lintas.
Dengan alasan inilah di kanal transportasi, Mindtalk, menempatkan Metromini di peringkat pertama kendaraan umum penyebab kemacetan Ibukota. Peringkat kedua di bawahnya adalah Kopaja (Koperasi Angkutan Jakarta), lalu disusul angkot atau akrab dengan sebutan Mikrolet, kemudian Bajaj, dan nomor lima, bus Patas.
3. Penyumbang Terbesar Polusi Udara Jakarta
Lantaran sebagian besar mesin Metromini tidak diurus atau dirawat dengan baik, maka tidak heran jika mini bus berwarna biru-oranye itu rajin menyemburkan asap knalpot hitam pekat. Selain membuat sesak napas pengendara lain yang kebetulan berada di belakangnya, asap knalpot model begitu ternyata juga memberi kontribusi besar berbagai penyakit.
Kandungan asap knalpot menyimpan zat-zat berbahaya. Di antaranya: Karbon Monoksida (CO), timbal (Pb), NO, dan Ozon (03). Karena CO mengikat hemoglobin, kadar oksigen dalam darah pun menjadi minim. Efeknya? Sesak napas dan pusing. Sedangkan timbal, NO, dan Ozon, jika melewati ambang batas 0.12 ppm (mikrogram per-kubik meter), bisa mengganggu metabolisme tubuh, merusak sistem pencernaan dan pernapasan. Bahayanya lagi, bisa menggangu tingkat kecerdasan (IQ) anak.
4. 90% Metromini Tidak Laik Jalan
Ketua Dewan Pengurus Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP Organda) DKI Jakarta, Syafruhan Sinungan, mengatakan saat ini jumlah Metromini di Jakarta sekitar 3.000 buah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.600 kendaraan di antaranya sudah dicabut izin trayeknya. Dari sisa 1.400, 90 persen di antaranya berada dalam kondisi tak laik jalan.
“Hanya 10 persen Metromini di Jakarta yang laik jalan. Jumlahnya hanya sekitar 200-an unit. Sedangkan, 90% tidak laik jalan karena umurnya rata-rata sudah 30 tahun. Padahal, berdasarkan Perda No.5 tahun 2014, usia maksimal bus, baik ukuran besar, sedang, dan kecil, hanya 10 tahun,” ujar Syafruhan. Artinya, semestinya semua Metromini harus masuk “museum”.
1. Metromini Jadi Primadona Diawal Kelahirannya
Jika saat ini Metromini identik dengan segala hal negatif, baik kondisi kendaraan maupun perilaku awaknya, tidak demikian di masa kelahirannya. Menyambut Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces alias Ganefo (tandingan Olimpiade) pada tahun 1962, Presiden Indonesia saat itu, Soekarno alias Bung Karno, memerintahkan agar Gubernur DKI Soemarno, membuat kendaraan pendukung guna mengangkut para atlet. Soalnya, kendaraan umum yang ada saat itu cuma oplet. Ada pula bus-bus besar, tapi dianggap tidak representatif.
2. Metromini Peringkat Pertama Penyebab Macet
Tidak heran jika Metromini dianggap merupakan kendaraan umum penyebab kemacetan utama di Jakarta. Sopir dan kenek, kerap kompak untuk menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Ya, dimana saja dan kapan saja. Cukup teriak “kiri!”, Metromini kontan berhenti. Belum lagi ulah supirnya yang sering mengendarai bus dengan ugal-ugalan dan melanggar lalu lintas.
Dengan alasan inilah di kanal transportasi, Mindtalk, menempatkan Metromini di peringkat pertama kendaraan umum penyebab kemacetan Ibukota. Peringkat kedua di bawahnya adalah Kopaja (Koperasi Angkutan Jakarta), lalu disusul angkot atau akrab dengan sebutan Mikrolet, kemudian Bajaj, dan nomor lima, bus Patas.
3. Penyumbang Terbesar Polusi Udara Jakarta
Lantaran sebagian besar mesin Metromini tidak diurus atau dirawat dengan baik, maka tidak heran jika mini bus berwarna biru-oranye itu rajin menyemburkan asap knalpot hitam pekat. Selain membuat sesak napas pengendara lain yang kebetulan berada di belakangnya, asap knalpot model begitu ternyata juga memberi kontribusi besar berbagai penyakit.
Kandungan asap knalpot menyimpan zat-zat berbahaya. Di antaranya: Karbon Monoksida (CO), timbal (Pb), NO, dan Ozon (03). Karena CO mengikat hemoglobin, kadar oksigen dalam darah pun menjadi minim. Efeknya? Sesak napas dan pusing. Sedangkan timbal, NO, dan Ozon, jika melewati ambang batas 0.12 ppm (mikrogram per-kubik meter), bisa mengganggu metabolisme tubuh, merusak sistem pencernaan dan pernapasan. Bahayanya lagi, bisa menggangu tingkat kecerdasan (IQ) anak.
4. 90% Metromini Tidak Laik Jalan
Ketua Dewan Pengurus Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP Organda) DKI Jakarta, Syafruhan Sinungan, mengatakan saat ini jumlah Metromini di Jakarta sekitar 3.000 buah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.600 kendaraan di antaranya sudah dicabut izin trayeknya. Dari sisa 1.400, 90 persen di antaranya berada dalam kondisi tak laik jalan.
“Hanya 10 persen Metromini di Jakarta yang laik jalan. Jumlahnya hanya sekitar 200-an unit. Sedangkan, 90% tidak laik jalan karena umurnya rata-rata sudah 30 tahun. Padahal, berdasarkan Perda No.5 tahun 2014, usia maksimal bus, baik ukuran besar, sedang, dan kecil, hanya 10 tahun,” ujar Syafruhan. Artinya, semestinya semua Metromini harus masuk “museum”.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
waaah bagus juga neh nice artikel
ReplyDeleteMakasih mas he...he...he...
Delete