Salatiga - BusNesia kali ini mengajak pembaca mengenang Terminal bus tempo dulu yakni Terminal bus Tamansari Salatiga, Jawa Tengah. Foto yang BusNesia pinjam dari blog Salatiga Photo Archives ini diambil sekitar tahun 60-an. Dalam catatan sejarah, Terminal bus Tamansari Salatiga pernah di sebut sebagai terminal bus terindah dan terbersih di Asia di jaman itu.
Mengutip website Pemkot Salatiga Di masa lalu Kota Salatiga pernah memiliki sebuah terminal bus yang disebut-sebut terindah di eranya. Terminal tersebut terletak di Jalan Jenderal Sudirman. Masyarakat menyebutnya Terminal Bus Tamansari. Bangunan terminal merupakan hasil kreativitas dari arsitek perancangnya dalam melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan sekitar.
Eddy Supangkat, dalam bukunya Salatiga Sketsa Kota Lama menuliskan, kondisi geografis Salatiga yang banyak cekungan dan tanjakan mampu dijadikan inspirasi oleh arsitek dalam membangun terminal. Mengingat adanya perbedaan ketinggian tanah yang cukup signifikan, bangunan terminal dibuat bertingkat. Lantai dasar bangunan dibuat untuk parkir bus yang dilengkapi dengan ruang tunggu penumpang. Sementara, di lantai atas dijadikan rumah makan dan toko penjual suvenir.
Atap terminal yang terbuat dari beton sekaligus menjadi pelataran bagi para pengunjung rumah makan. Sambil menyantap hidangan, para pengunjung bisa menikmati keindahan Gunung Merbabu dan Telomoyo di sebelah selatan dan kebun binatang di sisi utara. Rumah makan yang beruntung menempati adalah Rumah Makan Noes yang menyajikan masakan padang. Bila malam tiba, maka lagu-lagu Batak diputar dari dalam rumah makan yang suaranya terdengar hingga rumah-rumah penduduk yang tinggal di sekitar terminal.
Sayangnya, tidak diketahui secara persis kapan pembangunan terminal dilakukan berikut dengan arsitek perancangnya. Namun Eddy menyakini, pembangunan terminal dilakukan setelah Indonesia merdeka.
Thomas Karsten
Diyakini, pembangunan terminal sendiri merupakan hasil konsultasi dengan Herman Thomas Karsten (1884-1945), seorang arsitek kenamaan asal Belanda yang juga menjadi peletak dasar-dasar perencanaan kota di Semarang.
Hal itu dilihat bentuk fisik bagunan serta gaya arsitektur memiliki kemiripan dengan tiga pasar di Kota Semarang, yakni Pasar Jatingaleh (1930), Pasar Randusari (1930) dan Pasar Johar (1933). Anggapan itu semakin kuat mengingat Karsten juga merancang RS St Elisabeth (1926). Sebab, saat membangun rumah sakit di kawasan Candi Baru, Semarang tersebut Karsten juga dihadapkan dengan kendala geografis yang sama dengan Terminal Bus Tamansari, yakni lahan yang berbukit.
Jika benar pembangunan dilakukan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, teori tersebut sedikit diragukan mengingat arsitek lulusan Technische Hoogeschool di Delft tersebut meninggal dalam camp interniran Jepang di Cimahi pada 1945. Apalagi dalam buku Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia karya Yulianto Sumalyo yang diterbitkan Gadjah Mada University Press (1993), Karsten disebutkan sama sekali tidak meninggalkan jejak arsitektur di Kota Salatiga.
Yang pasti, sejak 1979, masyarakat Kota Salatiga sudah tidak bisa lagi menjumpai terminal yang artistik ini. Pemkot memutuskan untuk memindahkan terminal ke Soka, Sidorejo. Alasan Pemkot saat itu agar bus-bus tidak masuk ke dalam kota. Pada tahun 2000, terminal kembali dipindah ke daerah Tingkir hingga saat ini. Sementara di lokasi Terminal Bus Tamansari saat ini dibangun kompleks pertokoan Tamansari Shopping Center.
Mengutip website Pemkot Salatiga Di masa lalu Kota Salatiga pernah memiliki sebuah terminal bus yang disebut-sebut terindah di eranya. Terminal tersebut terletak di Jalan Jenderal Sudirman. Masyarakat menyebutnya Terminal Bus Tamansari. Bangunan terminal merupakan hasil kreativitas dari arsitek perancangnya dalam melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan sekitar.
Eddy Supangkat, dalam bukunya Salatiga Sketsa Kota Lama menuliskan, kondisi geografis Salatiga yang banyak cekungan dan tanjakan mampu dijadikan inspirasi oleh arsitek dalam membangun terminal. Mengingat adanya perbedaan ketinggian tanah yang cukup signifikan, bangunan terminal dibuat bertingkat. Lantai dasar bangunan dibuat untuk parkir bus yang dilengkapi dengan ruang tunggu penumpang. Sementara, di lantai atas dijadikan rumah makan dan toko penjual suvenir.
Atap terminal yang terbuat dari beton sekaligus menjadi pelataran bagi para pengunjung rumah makan. Sambil menyantap hidangan, para pengunjung bisa menikmati keindahan Gunung Merbabu dan Telomoyo di sebelah selatan dan kebun binatang di sisi utara. Rumah makan yang beruntung menempati adalah Rumah Makan Noes yang menyajikan masakan padang. Bila malam tiba, maka lagu-lagu Batak diputar dari dalam rumah makan yang suaranya terdengar hingga rumah-rumah penduduk yang tinggal di sekitar terminal.
Sayangnya, tidak diketahui secara persis kapan pembangunan terminal dilakukan berikut dengan arsitek perancangnya. Namun Eddy menyakini, pembangunan terminal dilakukan setelah Indonesia merdeka.
Thomas Karsten
Diyakini, pembangunan terminal sendiri merupakan hasil konsultasi dengan Herman Thomas Karsten (1884-1945), seorang arsitek kenamaan asal Belanda yang juga menjadi peletak dasar-dasar perencanaan kota di Semarang.
Hal itu dilihat bentuk fisik bagunan serta gaya arsitektur memiliki kemiripan dengan tiga pasar di Kota Semarang, yakni Pasar Jatingaleh (1930), Pasar Randusari (1930) dan Pasar Johar (1933). Anggapan itu semakin kuat mengingat Karsten juga merancang RS St Elisabeth (1926). Sebab, saat membangun rumah sakit di kawasan Candi Baru, Semarang tersebut Karsten juga dihadapkan dengan kendala geografis yang sama dengan Terminal Bus Tamansari, yakni lahan yang berbukit.
Jika benar pembangunan dilakukan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, teori tersebut sedikit diragukan mengingat arsitek lulusan Technische Hoogeschool di Delft tersebut meninggal dalam camp interniran Jepang di Cimahi pada 1945. Apalagi dalam buku Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia karya Yulianto Sumalyo yang diterbitkan Gadjah Mada University Press (1993), Karsten disebutkan sama sekali tidak meninggalkan jejak arsitektur di Kota Salatiga.
Yang pasti, sejak 1979, masyarakat Kota Salatiga sudah tidak bisa lagi menjumpai terminal yang artistik ini. Pemkot memutuskan untuk memindahkan terminal ke Soka, Sidorejo. Alasan Pemkot saat itu agar bus-bus tidak masuk ke dalam kota. Pada tahun 2000, terminal kembali dipindah ke daerah Tingkir hingga saat ini. Sementara di lokasi Terminal Bus Tamansari saat ini dibangun kompleks pertokoan Tamansari Shopping Center.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
ngenes aku nek eling tamansari.terminal biyen, bnyak foto2 para pejuang awal th 50 yg berpose di alun2 tamansari, masa kecilku di bonbin solotigo panjat2 di candi bohongan,.. sayang2 udah jadi hotel,toko, kios, suatu orientasi jangka pendek pembangunan kota
ReplyDeleteIngat terminal tamansari, ingat PO Esto, ingat bapak :)
ReplyDelete