Ketika membaca koleksi lama Majalah Tempo Edisi No 14/XXXVII/26 Mei - 01 Juni 2008, ada yang menarik yakni awal mula berdirinya terminal Lapangan Banteng. Pada hari-hari pertama ia mencoba menertibkan bus kota di tahun 1970. Waktu itu puluhan bus kota menggunakan Lapangan Banteng sebagai tempat parkir dan calo-calo menguasai lalu lintas penumpang. Sebuah preman besar berkuasa di sana. Pada suatu hari, Ali Sadikin datang mendadak. Ketika ia menghadapi seorang calo yang rupanya menjengkelkannya, ia mengayunkan tinju. Orang itu terjerembap.
Tapi ada yang membuat Ali Sadikin tak dibenci: ia mau meminta maaf. Ia bisa melihat kelemahannya sendiri dan kelemahan orang lain. Di Lapangan Banteng itu ia tahu orang yang cari nafkah dengan kasar dan kacau itu bukan oknum yang bersalah. Ia perlu lebih sabar. Sebab yang bersalah adalah kemiskinan. Tak lama kemudian di Lapangan Banteng dibangun sebuah stasiun bus yang bagus dan rapi. Para bekas calo diberi pekerjaan di situ. Ya, seperti itulah yang saya baca di majalah Tempo tersebut.
Lapangan Banteng pun ramai dan sibuk. Bis Medal Sekarwangi, PPD, Arion, Saudaranta, Merantama, SMS, Pelita Mas Jaya, Mayasari Bakti, dll setiap hari mengisi kesibukan terminal. Ini adalah ide Bang Ali Sadikin ketika ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta seperti dalam cerita yang tertulis di atas.
Lapangan Banteng memang strategis, dikelilingi oleh Hotel Borobudur, gedung Departemen Keuangan, Mahkamah Agung, Kantor Pos, Geraja Katederal, Pertamina. Tidak jauh jaraknya, ada stasiun Gambir, Kantor Berita Antara, Pasar Baru, Proyek Senen.
Terminal Lapangan Banteng tak bertahan lama. Seiring dengan meningkatnya kepadatan penduduk dan berkurangnya taman-taman kota, Lapangan Banteng akhirnya dialihfungsikan kembali sebagai taman kota pada 1985.
Lapangan Banteng kini kembali menjadi fasilitas kota dengan fungsi estetisnya, menghijaukan gersangnya panorama Ibukota. Ternyata, Lapangan Banteng bukan sekadar landmark kota semata, namun juga menjadi simbol perjuangan melawan lupa.
Tapi ada yang membuat Ali Sadikin tak dibenci: ia mau meminta maaf. Ia bisa melihat kelemahannya sendiri dan kelemahan orang lain. Di Lapangan Banteng itu ia tahu orang yang cari nafkah dengan kasar dan kacau itu bukan oknum yang bersalah. Ia perlu lebih sabar. Sebab yang bersalah adalah kemiskinan. Tak lama kemudian di Lapangan Banteng dibangun sebuah stasiun bus yang bagus dan rapi. Para bekas calo diberi pekerjaan di situ. Ya, seperti itulah yang saya baca di majalah Tempo tersebut.
Lapangan Banteng pun ramai dan sibuk. Bis Medal Sekarwangi, PPD, Arion, Saudaranta, Merantama, SMS, Pelita Mas Jaya, Mayasari Bakti, dll setiap hari mengisi kesibukan terminal. Ini adalah ide Bang Ali Sadikin ketika ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta seperti dalam cerita yang tertulis di atas.
Lapangan Banteng memang strategis, dikelilingi oleh Hotel Borobudur, gedung Departemen Keuangan, Mahkamah Agung, Kantor Pos, Geraja Katederal, Pertamina. Tidak jauh jaraknya, ada stasiun Gambir, Kantor Berita Antara, Pasar Baru, Proyek Senen.
Terminal Lapangan Banteng tak bertahan lama. Seiring dengan meningkatnya kepadatan penduduk dan berkurangnya taman-taman kota, Lapangan Banteng akhirnya dialihfungsikan kembali sebagai taman kota pada 1985.
Lapangan Banteng kini kembali menjadi fasilitas kota dengan fungsi estetisnya, menghijaukan gersangnya panorama Ibukota. Ternyata, Lapangan Banteng bukan sekadar landmark kota semata, namun juga menjadi simbol perjuangan melawan lupa.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »